Sabtu, 29 Juli 2017

Namanya Milana

Peristiwa ini terjadi kira-kira tahun 2008. Saat dimana Hape hanya bisa untuk sms dan telepon saja.

Iseng saja aku pasang iklan di koran. "mencari teman ngobrol asik? 08129xxxxx.hanya untuk wanita menikah. sms hanya pada jam kerja (08-17), sabtu-minggu off".

Tentu, Dika bukan nama asliku, dan nomer yang kupasang juga bukan nomer utamaku. Gila memang, aku yang sudah beristri dan punya dua anak ini nekat memasang iklan di koran untuk mencari kepuasan lain. Aku bukannya tidak puas dengan pelayanan istriku selama ini, tapi entahlah, ada kesenangan lain yang aku hendak dapat. ada kekosongan yang rasanya tidak bisa diisi oleh istriku selama ini. Istriku cantik, anak-anakku lucu, tapi selama hampir 8 tahun pernikahanku, aku sudah kehilangan gairah, rutinitas hampir membunuhku.

dan tiba-tiba saja, ide itu muncul. entah darimana asalnya, aku terpikir untuk memasang iklan itu. Bukan, selama pernikahanku, aku tak pernah sama sekali selingkuh. Aku pria setia hanya dengan satu istri. tak pernah sekalipun terbersit untuk mencari selingkuhan. Sampai dengan saat ini.

***

Telepon itu berdering suatu sore. Aku masih di kantor dan sibuk dengan report yang belum selesai.

"Dika?"
Langsung tahu orang itu telpon ke nomer yang aku iklankan di koran. aku memang hanya beli nomer itu untuk iklan. namaku pun bukan Dika.
Suara itu lembut.
"Saya sendiri, bisa dibantu"
suara itu sejenak ragu.
"Hallo?"
"Dika, bisa ketemuan?"
"hari ini?bisa, jam 7an. Maaf, dengan siapa saya bicara?"
terdiam sesaat, dan kemudian menjawab," ... Mila".

Kami berjanji di sebuah coffeshop sepi. Ku tahu tempat itu, tempat yang jarang sekali dikunjungi orang.

***

Calon pelanggan pertamaku. Aku segera menelepon istriku dan bilang aku pulang agak malem, biasa tutup buku, alasanku. Tepat pula, karena ini akhir bulan. baru kali ini aku berbohong untuk seorang wanita lain (yang entah aku tak tahu seperti apa wajahnya), dan itu membuat jantungku berdebar ekstra keras.

Seperti biasa, istriku tak banyak bertanya. Maklum dia dengan kondisiku ini.

Motorku meluncur dalam keramaian kota di malam itu, hanya 3 kilometer dari kantorku.

Jantungku berdebar keras tatkala kakiku melangkahi tangga menuju coffeshop sepi itu. celingukan, takut ada orang yg mengetahui keberadaanku di sini, atau mengenalku bahkan. Jalan depan coffeshop di lantai 2 itu memang ramai sekali.

Sampai di dalam, ku tak menemukan seorang pun menunggu. rasanya aku memang terlalu tepat waktu. Pesan Mochachino, dan duduk sambil browsing di Optimus Oneku. Jokowi sebentar lagi menang, sepertinya.

Hmmm, Wanita itu belum datang juga. sudah setengah jam lebih aku menunggu. aku membayangkan beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama, wanita itu ragu-ragu datang. Siapa sih yang engga? bahkan orang yang mau berselingkuhpun harus mikir-mikir. Kemungkinan kedua, wanita itu iseng. Nah, itu masalah. Kemungkinan ketiga, bannya bocor atau ada halangan di jalan. aku senyum-senyum sendiri memikirkan 3 skenario itu.

Sms itu kemudian datang.
"Dika, maaf aku ga jadi datang. aku akan ganti ongkos makanmu di situ. kirimkan saja nomer rekeningmu"

kubalas sms itu, dengan jengkel.

"gapapa mbak, sudah sering saya ditipu orang seperti ini kok. Ikhlas saya nunggu sejam sendiri di sini.thks", jawabku bohong.

Sambil menjawab itu, aku beranjak dan bergerak menuju kasir.

"Dika .." Suara itu ragu-ragu memanggilku. Aku menoleh dan melihat seorang wanita berdiri tak jauh dari pintu masuk Coffeshop itu. Aku menengok.

***

"Maaf, aku sebenarnya ..."

Entah kenapa aku paham sekali mengapa dia terpaksa berbohong.

"Mbak, mbak ga perlu terangin panjang lebar kenapa mbak sms seperti itu," kataku menenangkan.

Mila, nama wanita itu, awalnya memang hendak pergi menemuiku, tapi begitu sampai di depan cofeeshop, dia ragu-ragu, dan duduk cukup lama di situ sambil menimbang-nimbang. Aku menyilakannya duduk. Kupesankan dia Mochachino, tidak usah katanya, tapi sudah terlanjur, dan aku sendiri pesan kentang goreng.

Kutaksir umurnya sekitar 40an. berkulit sawo matang, sedikit gemuk, tapi cukup tinggi, paling tidak setinggi istriku. Matanya kuyu seperti kurang tidur, dan gurat ketuaan tampak jelas dimatanya. Bagaimanapun, ada selintas kecantikan di sana. bibirnya tipis, dengan kumis tipis dan tahi lalat kecil di atas kiri mulutnya. Tanpa senyum pada awalnya, tapi setelah kami mengobrol, tampak ada senyuman kecil di sela-sela ucapannya. Manis. awalnya garing, kami berdua saling kagok. tapi bukan aku namanya kalau tidak bisa mencairkan suasana dengan beberapa lawakan.

Aku tak mau banyak ngobrol tentang hubungan pribadinya, karena biasanya orang keberatan dengan itu. Pergaulanku bertahun-tahun dengan orang bule mengajarkanku mengenai menghargai privasi. dan kujaga benar itu. Ngobrol ngalor ngidul tepatnya. 20 menit dan kami bercerita panjang lebar mengenai arisan, Jokowi, dan bahkan asuransi (juga karena Mila agen asuransi jiwa). Mila tampaknya suka didengarkan. beberapa kali dia bercerita panjang lebar, dan tampaknya menyukai ketika aku mendengarkan dia dengan seksama.

Sambil dia cerita, mataku tak lekang melihat bibirnya. Ah, gila juga, lama-lama kulihat dia semakin menarik, dan aku merasakan ada bagian tubuhku yang menegang, dan membayangkan bibir tipis itu ....
Bajunya putih malam itu, agak tipis, sehingga aku bisa melihat garis tali bra dan kontur cup branya. tidak terlalu besar memang dadanya, tapi aku rasa aku akan mencoba sejauh apa dia akan merespons tindakanku.

Aku belajar bahwa aku tak boleh memaksakan waktu ke setiap wanita. Biarlah mereka menentukan lama dan tidaknya sebuah tindakan, termasuk mengawali ke hubungan intim. Dengan tenang dan tetap cair, aku selalu merespon percakapannya dengan santun.

"Jadi, apakah setiap gigolo sesopan kamu, Dik?" tanyanya.

Aku hanya tertawa. Dia memanggilku dik. Dia memang sempat menanyakan umurku, dan kujawab terus terang. Dia sendiri mengaku umurnya 48 tahun.

"Aku ga tahu, mbak, aku ga punya teman gigolo," kataku sambil mulai berani untuk memegang tangannya. Tangannya diam, tapi dari dinginnya tangan itu, aku tahu dia masih gugup, dan mungkin tak terbiasa dengan hal ini. Akupun begitu, ini momen pertamaku juga sebagai seorang gigolo. Dia terdiam. Dan kemudian menarik tangannya.

"Dik, aku ..."

"Aku harus pergi. tak seharusnya aku ..."

Dia tak meneruskan perkataannya, dan berdiri beranjak pergi. Aku hanya duduk saja dan memandangnya.

"baik mbak," kataku kalem. Dia bengong melihat jawabanku yang sepertinya tanpa beban.

"Maafkan aku Dik ...," untuk kesekian kalinya dia meminta maaf.

Dia beranjak dan membayar di kasir.

***

Tubuh telanjang itu mendesah di bawah tubuhku, menerima tusukan penisku berulang-ulang, merajam vaginanya. Desahan itu semakin lama semakin cepat, dan akhirnya berhenti, dan aku merasakan kedutan-kedutan vagina mencengkeram penisku. Istriku orgasme.

Dan selama itu pula aku membayangkan mbak Mila di benakku. Gila memang.

Entah kenapa, pertemuan pertama itu begitu berkesan buat aku. Dan kebetulan cuman dia yang sms ke nomer teleponku.

Dua hari kemudian aku mendapatkan sms lagi ke nomor yang aku pasang di iklan. Nomernya tak aku kenal.

"bisa ketemuan? Jam 1 siang di hotel ********? tarif berapa?"

"Maaf. Kebetulan full booked hari ini sampai jam 6 sore. Apakah jam 7 bisa? Tarif pijat 100/jam." Aku asal menjawab. Tak mungkin aku meninggalkan pekerjaan kantorku.

"Ok. kamar 329."

Wow. Aku baru saja menerima order pertamaku.

Aku tahu hotel itu. agak Jauh dari kantorku, aku rasa aku bakal aman ke sana.

Sekitar 45 menit aku telah sampai di hotel itu. Deg-degan. Seperti apa orangnya? apakah aku bakal nafsu atau tidak? Pertanyaan itu terus muncul semenjak aku keluar kantor.

Aku mengetuk pintu kamar 329. Seorang perempuan membuka pintu kamar itu.

Mbak Mila!

"Kamu pasti kaget ya?"

Aku tersenyum dan kemudian masuk ke kamar.

"Terus terang iya mbak. Nomer mbak ganti ya?"

"Itu nomer sekali pakai."

Mbak Mila tampak sangat berbeda dari terakkhir kali aku lihat. Dia berdandan rapi dan terus terang terlihat lebih manis. Baunya juga wangi.

Aku berinisiatif untuk memegang kedua tangannya. Dia tak menarik diri, tapi kurasakan dia gugup. Tangannya dingin dan berkeringat.

"Aku ... aku baru pertama kali ..."

"Duduk dulu yuk mbak," aku meraih tangannya dan kami berdua duduk di samping tempat tidur.

"Minum?"

Sejujurnya aku sama gugupnya dengan dia. Tapi entahlah, aku pikir aku harus berani untuk mengambil resiko ini.

Aku nekat mengambil air soda dari lemari es kamar hotel itu.

Dia meminum sedikit.

"Aku harap kamu ga berpikir bahwa aku adalah semacam tante-tante girang yang suka ..."

Aku tersenyum.

"Sejujurnya, mbak, aku ga peduli siapapun mbak. Aku kesini karena mbak menginginkannya. Jadi apakah mbak mau lanjut?"

Dia kemudian menangis. Iya, dia menangis. lelehan air mata itu tampak jelas walaupun tanpa isak.

"Dia selingkuh ..."

"Brengsek, anjing, bajingan itu selingkuh ..."

"Mbak ..."

Aku merangkuh tubuhnya mendekat ke arahku. Isakan tangis itu akhirnya keluar. Dia sesenggukan di dadaku.

"Suami mbak?"

Dia mengangguk.

"Dan sekarang mbak memanggilku supaya skornya satu satu?"

Dia tak menjawab, tapi isak tangis tetap terdengar.

Aku berdiri dan menarik tubuhnya supaya dia ikut berdiri. Wajahnya bengong karena tak tahu maksudku.

Aku pelan meraba pipinya yang basah karena air mata.

"Mbak itu seksi," kataku sambil kemudian menurunkan tanganku menuju bahunya. Aku menelan ludah ketika tanganku sampai di depan buah dadanya yang tak terlalu besar itu. Tangannya menahan kedua tanganku, seakan masih melarang. Tapi lemah. Aku tetap meremas kedua payudaranya yang masih tertutup baju dan BH.

Tanganku kemudian melepas kancing-kancing kemejanya. Tubuh mbak Mila masih kaku dan gugup. Kulihat matanya tertutup, tapi sudah tak ada lagi perlawanan dari dia. Tangannya bahkan membantuku untuk melepas baju putih itu.

BHnya krem, maaf, sederhana sekali. Tanpa motif, tanpa renda. sedikit belahan nampak di tengah-tengahnya. Iya, dadanya memang tak terlalu besar. Aku merangkulnya dan mencium leher dan bahunya dengan pelan. Aku tak terburu-buru memang. Harum kulitnya kembali terhirup, semacam lotion berbau melati.

Pelan-pelan kugeser tali BHnya, dan kulanjutkan mencium bahunya yang tampak tegang itu. mbak Mila masih diam saja mematung, dan aku tak memaksanya untuk bereaksi lebih jauh. Biarkan saja dia begitu. Biarkan saja dia merasakan bahwa ada orang lain yang memuja tubuhnya. Aku meraba pengait BHnya yang ada di belakang, dan seketika itu BHnya lepas.

Tangan mbak Mila otomatis menutup kedua payudara itu.

"Dik ...," katanya sambil gugup.

Aku pelan-pelan mengelus lengan atasnya. Bibirku kembali beraksi menyusuri bagian depan dadanya. Aku sama sekali tak memaksa tangannya untuk turun dari menutupi payudaranya itu. Aku tahu dia butuh waktu. Tanganku terus turun menyusuri pinggangnya, dan mendapati ritsleting samping rok spannya. Segera kubuka dan kulorotkan rok span itu. Tubuhnya bergetar. Aku merasakan kulit pahanya merinding ketika tanganku mengelus kedua pahanya, dan kemudian pelan berpindah ke bokongnya. Celananya pun sama membosankannya dengan BHnya. krem pucat yang polos. Aku meremas lembut bokongnya dan pelan memelorotkan celana dalamnya, dan tubuh mbak Mila pun menggelinjang. Tangannya yang tadi menutupi kedua payudaranya pun menyerah. Aku melepas kaosku sambil tetap memakai celanaku. AKu ingin dia yang punya inisiatif lebih.

Tangannya kemudian memelukku erat. Dadanya yang tak terlalu besar itu menempel erat di dadaku yang telanjang. Putingnya yang sudah menegang terasa sangat menggelikan di dadaku. Kubaringkan kemudian tubuhnya ke atas kasur.

"Mbak yakin mau terus?"

Dia tak menjawab. Matanya terpejam dan tangannya masuk memelukku.

"Jika mbak bilang stop, aku akan segera stop dan kita bisa pergi keluar dari kamar ini."

Dia menggeleng lemah.

"Aku pengen ngen ..."

Aku tertawa. Dia juga tertawa malu, tak melanjutkan kalimatnya.

Ciumanku kembali ke mulutnya. Kali ini dia membalasnya dengan sungguh-sungguh. Bibir kami berpagutan dan ternyata mbak Mila adalah seorang pencium yang handal. Lidahnya bermain di bibirku, dan kemudian menyusuri rongga mulutku. Ciumanku turun ke arah leher, dan kemudian kedua dadanya. Putingnya yang sudah mengeras kujilat, kuemut, dan buah dadanya yang sudah agak turun itu kuremas. Tanganku turun menuju vaginanya yang sudah sangat basah. Kuelus klitoris dan labia mayoranya. Dia mengerang.

Aku meneruskan ciuman di dadanya. Dia kembali mengerang dan kemudian kurasakan tangannya turun menuju ikat pinggangku. Dia melepas celanaku. Celana dalamku akhirnya melorot, dan dengan usaha minimal, aku berhasil melepasnya. Tangannya dengan cepat meraba dan mengelus penisku yang sudah tegang.

"Dik, pelan-pelan, Mbak sudah lama banget ga ..."

Aku mengangguk.

"Aku ga pake kondom mbak. Aku ambil sebentar ya ..."

"Ga usah Dik," katanya sambil memegang penis tegangku.

"Masukkan Dik, sekarang,"

"Mbak ..."

Dia mengangguk, memastikan.


Tangannya membimbing penisku masuk ke dalam lubang vaginanya yang sudah kuyup itu. Pelan-pelan.

"Aaaaah," serunya tertahan ketika penisku masuk seluruhnya. Aku berhenti sebentar menikmati basahnya vagina mbak Mila.

Dan kemudian kugoyangkan pinggulku. Pelan-pelan dan dalam. Pinggul mbak Mila pun seperti bergerak seirama dengan goyangan pinggulku. Bibirku dan bibirnya saling bertaut tak lepas sedikitpun. Kunikmati goyangan demi goyangan itu, sampai akhirnya kaki mbak Mila naik ke pahaku. Aku paham bahwa mbak Mila butuh goyangan lebih cepat, karena hampir sampai. Kupercepat goyanganku, kupastikan bahwa seluruh batangku masuk ke dalam vagina dengan cepat, berkali-kali, keras.

Dan akhirnya yang ditunggu pun datanglah. Tubuh bagian bawah mbak Mila bergetar. Aku merasakan pinggulnya bergerak menyongsong pinggulku, dan kubenamkan dalam-dalam (kira-kira) seluruh batang penisku ke dalam vaginanya.

"Aagghhhh!!!" mbak Mila berteriak kecil dan kurasakan denyutan-denyutan vaginanya di penisku. Pinggulnya bergerak-gerak menggesek pinggulku.

Aku berhenti dan menatap wajahnya yang sekarang tersenyum sambil menutup mata.

"Enak mbak?"

"Bangeetttt."

Aku memberikan kesempatan kepadanya untuk menikmati orgasmenya.

"Kamu belum?"

"Sebentar lagi, mbak."

Kurasakan relung-relung vagina mbak Mila menggesek batang penisku. Kugenjot penisku keluar masuk vaginanya. Kurasakan puncakku semakin dekat. Demikian pula dengan mbak Mila.

Desahan mbak Mila semakin kencang dan nafasnya semakin memburu. Genjotanku semakin cepat dan dalam, sampai akhirnya ...

Aku ejakulasi. Dalam-dalam. Beberapa kali kurasakan semprotan itu menghunjam rahimnya. Vagina itu pun berdenyut-denyut kembali. Untuk kedua kalinya.

"Kamu bukan gigolo kan Dik?"

Aku tak menjawab. bagaimana mungkin dia tahu?

"Aku yakin kamu bukan gigolo. Terlalu banyak perasaan ..."

Aku tersenyum.

"Itu tak penting. Yang lebih penting mbak puas kan?"

"Berapa Dik tarifmu? tadi kamu belum jawab."

"Sesuka mbak kasih berapa."

****

"Ma, hari sabtu minggu depan ada undangan family gathering kantor. Ikut sama anak-anak ya."

Bosku, pak Tri, tiba-tiba punya ide untuk mengenal keluarga karyawannya. Memang kantor kami tak besar, hanya 25 orang dari mulai direktur sampai OB. Acara team gathering akhirnya diusulkan HRD. Kami menyewa sebuah resort untuk acara seharian penuh.

Resort yang disewa itu benar-benar indah. Istri dan kedua anakku tampak sangat gembira, apalagi ada teman bermain. Kebetulan memang beberapa dari kami punya anak yang sepantaran.

"Hallo teman-teman!"

"Maaf saya terlambat. tadi belanja duren sebentar biar bisa pesta duren seharian!"

Kata pak Tri tergopoh-gopoh dan disambut dengan tepuk tangan dan teriakan gembira.

Di belakangnya ada keluarganya yang membawa sekeranjang besar durian. Kami segera mengerubungi keranjang itu.

Tiba-tiba punggungku ditepuk.

"Dik, kenalkan, ini istriku, Milana."
Previous Post
Next Post