Kamis, 20 Desember 2012

Malam Pertama

Aku hanyalah gadis biasa, meski banyak orang yang bilang kalau aku cantik. Dan di usia 19 tahun ini, aku sudah menikah dengan seorang laki-laki bernama Ferdi. Bagaimana aku bisa menikah dengannya? Itu semua karena kakek Ferdi.

Orang tuaku meninggal saat aku masih SMA. Mereka mengalami kecelakaan beruntun di jalan tol. Karena orang tua Ferdi sudah menjadi teman baik orang tuaku, maka dengan senang hati mereka menganggapku sebagai anaknya juga. Mereka berharap aku bisa menjadi keluarga mereka dengan menikahi Ferdi. Tapi itu tidaklah mudah.


Aku dan Ferdi tidak pernah akrab sejak pertama kali bertemu. Sifatku yang dingin ini, membuatku menjaga
jarak dengannya. Bahkan ketika aku pindah ke sekolah yang sama dengannya, tidak ada yang mengetahui bahwa kami tinggal dalam satu atap.

Hingga setengah bulan yang lalu saat aku sudah hampir selesai kuliah, kakek Ferdi sakit dan ingin melihat kami menikah. Aku tidak mau, tentu saja. Tapi apa kau bisa menolak keinginan mereka-mereka yang sudah mengasihanimu? Tentu saja tidak!

Akhirnya aku menikah dengan Ferdi dan setelah itu kesehatan kakek semakin membaik. Ia memberikan sebuah apartement kepada kami berdua untuk ditinggali.

Tentang Ferdi, aku memang menjaga jarak dengannnya. Ia adalah laki-laki yang populer. Begitu banyak wanita yang mendekatinya dan itu membuatku muak! Kenapa aku selalu bersikap dingin kepadanya? Itu karena aku bukan gadis-gadis bodoh seperti mereka.

Jika kalian bertanya apakah aku mencintai Ferdi, aku tidak tahu. Tapi yang jelas aku menyukainya. Mungkin terlalu menyukai hingga ia selalu datang dalam mimpiku dan menjadi fantasiku. Menjadi karakter di setiap tokoh yang kutulis.

Ya, aku suka menulis di blog pribadiku. Mungkin dengan begini aku bisa menghidupkannya walau dalam imajinasiku. Karena terus terang, rumah tangga yang kujalani saat ini sangat terasa hambar. Mungkin salah satu sebabnya itu aku, dan aku terlalu egois untuk bertindak lebih dulu.

Hari ini aku bangun lebih pagi. Seperti biasa, kubuatkan sarapan untuk Ferdi. Setelah selesai masak, aku pergi ke kamarnya. Ini kebiasaan buruknya. Ia tidak bisa bangun pagi dan mengharuskanku untuk membangunkannya.

Ah, ada yang lupa. Selama ini aku dan dia tidur di kamar yang terpisah. Ini keinginanku. Entahlah kenapa aku selalu menjaga jarak dengannya, mungkin aku merasa tidak pantas untuknya.

Kubuka tirai kamarnya kemudian menghampirinya. Sesaat aku terdiam menatapnya. Jika kau bertanya siapa orang paling tampan di dunia ini, maka dengan pasti aku akan menjawab itu suamiku.

“Fer, bangunlah!!” aku menggoyang-goyang tubuhnya pelan, “Ferdi,”

Laki-laki itu tidak bergerak sama sekali. Ok, ini tidak biasanya. “Ferdi!!” kuguncang dengan keras tubuhnya. Tidak ada reaksi.

Aku mulai khawatir. Kusibak selimutnya, “Fer, bangunlah,” kutepuk-tepuk pipinya, “Fer... uwaaaa...” aku menjerit kaget saat sepasang tangan kekar menarikku hingga jatuh di atasnya kemudian berguling hingga kini ia menghimpitku.

“Fer, apa yang kau lakukan?!” teriakku, tapi laki-laki itu tidak menjawab dan malah membenamkan wajahnya ke dalam leherku. Jantungku terasa berhenti berdetak. Tuhanku... apa yang terjadi? Tapi kemudian ia membebaskanku dengan berguling ke samping. Ia menggeliat pelan sambil menguap lebar-lebar.

“Kenapa kau ada disini?” tanyanya bingung saat melihatku ada di sebelahnya.

Aku bangun sambil mendengus pelan, “Sarapanmu sudah kusiapkan,” ucapku datar, kemudian keluar dari kamarnya. Aku kembali ke kamarku dan masuk ke dalam kamar mandi. Astaga, kenapa jantung ini berdebar begitu keras?!

Setelah mandi, aku makan bersama dengannya. Hal ini sangat jarang kami lakukan. Biasanya aku lebih dulu pergi ke kampus jika ada kuliah pagi.

“Apa itu?” tanyanya sambil menatap sayuran yang kumakan.

Aku menatapnya heran. Tidak biasanya ia berbicara saat makan. “Kau mau?” tanyaku ragu.

Ferdi memajukan tubuhnya sambil membuka mulutnya, tanda ingin aku menyuapinya. Ada apa dengannya hari ini?

Dengan ragu aku menyuapkan sayur itu ke dalam mulutnya. Ia mengunyah pelan kemudian tersenyum, “Terima kasih,” katanya pelan.

Dan aku, hanya bisa terpaku melihatnya.

Sialan, pikiranku benar-benar tidak bisa fokus. Tingkahnya hari ini sangat aneh. Hingga kuliahku selesai aku masih terus memikirkannya. Ada apa dengannya hari ini? Atau ada apa denganku?

Aku masuk ke dalam apartement dan melihatnya sedang asyik main psp. Sepertinya ia tidak ada kelas hari ini. Oh ya, selain menjadi mahasiswa, Ferdi juga bekerja sampingan sebagai penulis lagu. Dan kuakui suaranya benar-benar memabukkan.

“Sudah pulang?” tanyanya.

Aku mengerutkan keningku. Tidak biasanya dia bertanya seperti ini. “Ya,” jawabku pelan.

“Aku lapar, bisa membuatkan makanan untukku?” tanyanya lagi.

“Tunggu sebentar,” sahutku.

Aku menukar pakaianku kemudian membuatkannya mie, setelah itu aku masuk ke dalam kamarku. Kubuka laptopku dan mengecek blogku. Aku mengerutkan kening saat mendapati sebuah tulisan yang kubuat sangat mirip dengan yang dilakukannya hari ini. Ini tidak mungkin terjadi... aku menepis bayangannya dan mulai masuk ke dalam imaginasiku dimana dia hanya menjadi milikku seorang.

Entah berapa lama aku menulis, tubuh ini terasa pegal. Kurenggangkan tubuhku sambil melirik jam. Pukul delapan. Ternyata sudah malam.

Kudengar pintu kamarku terbuka, aku tahu itu dia, “Ada apa?” tanyaku tanpa menoleh ke arahnya.

“Apa kau sedang menulis?” ia bertanya.

Aku terdiam sesaat, bagaimana dia bisa tahu jika aku suka menulis?

“Kenapa? Kau heran aku mengetahuinya... citraciki?”

Kali ini aku langsung menoleh ke arahnya. Bagaimana bisa dia tahu nama Id-ku di blog?! “k-kau... tahu?” tanyaku bingung.

Dia tersenyum sambil berjalan lambat menghampiriku, membuatku gugup.
“Aku tidak tahu kalau aku selalu menjadi fantasimu, nona Citra Kirana... apa kau begitu menginginkanku?”

Aku membeku mendengarnya, “Kau tidak suka?”

“Ya, aku sangat tidak suka! Mengapa kau begitu dingin dihadapanku, sedangkan selalu berimajinasi bersamaku di tulisanmu?”

Aku hanya menelan ludahku. Apa yang harus aku jawab?

“Bagaimana dengan tingkahku tadi? Apa sudah mirip dengan skenario yang kau tulis?”

Aku terheyak mendengarnya. Jadi dia memang sengaja?! “Kau membaca tulisanku?” tanyaku tidak percaya.

Ferdi tersenyum berbahaya, “Ingatlah untuk memberi pasword pada laptopmu,”

”Well, thanks,”

“Hanya itu? setelah menjadikanku object fantasimu dan kau hanya bilang terima kasih?!” tanyanya sambil naik ke tempat tidur, mendekatiku.

“Lalu apa maumu?” tantangku.

Dia mendorongku dengan kasar hingga aku jatuh ke tempat tidur, menyingkirkan laptopku kemudian duduk di atas pahaku. “Sekarang, aku ingin kau mengikuti skenario yang kubuat,” ucapnya sambil mendekat ke wajahku hingga kini ia menghimpit tubuhku.

“Dan ini sekenarioku,” bisiknya pelan, membuat tubuhku menegang mendengarnya. “Bagaimana menurutmu? Kau takut?”

“Tidak!” jawabku tegas sambil menatap matanya.

“Benarkah?” ia tersenyum setan.

“Aku punya status, Fer. Statusku adalah istrimu, jadi aku tidak takut dengan apa yang kau lakukan!”

“Itu bagus, jadi aku bisa dengan lancar membuat skenario ini denganmu,”

Aku memalingkah wajahku ke samping. Aku benci melihat tatapannya yang bisa membuatku luluh seketika. Sepertinya ia bisa mendengar jantungku yang menghentak keras. Kesalahan pertama! Itu malah membuatnya leluasa untuk mengecup leherku.

Ada rasa aneh yang menjalar ketika bibirnya menyentuh kulit leherku. Membuat syaraf-syaraf di tubuhku lumpuh. Kugigit bibir bawahku. Tanganku mencengkeram kaos di pinggir pinggangnya.

Ferdi menggigit kulit leherku lembut kemudian menghisapnya kuat, membuatku menutup mata erat-erat. Decakan-decakan bibirnya yang menjelajahi leherku terdengar begitu menggairahkan. “Mmmhhh... Hhhh...” desahnya begitu merdu terdengar di telingaku membuat perutku seperti diaduk-aduk.

Bibirnya bergerak pelan ke tengah leherku membuatku mendongak, memudahkannya untuk menyusurinya. Detak jantungku mulai tidak beraturan. Nafasku mulai tersegal. Bibir Ferdi terus merambat ke sisi lain leherku dan semakin naik ke atas, ia menggigit lembut telingaku. Terpaan nafasnya yang hangat, nyaris membuatku hilang kendali.

“Jangan ditahan...” bisiknya sepelan angin. “Ayo kita bernyanyi bersama, dan saling menulis skenario di atas tubuh ini,”

“Oooohh...” pertahananku hancur saat tangannya meremas dadaku lembut. Rasanya ada ribuan kupu-kupu yang terbang di dalam perutku. Aku menggeliat pelan dalam dekapannya. Ia masih terus meremas dada kiriku sementara bibirnya masih menyusuri leher bagian belakang telinga kananku.

”Nngghhh...” desahnya lembut disela-sela bunyi decakan dari kecupannya.

Tiba-tiba saja ia bangun sambil menarikku. Kini kami berdua dalam posisi duduk dengan dia duduk di pahaku. Dilepasnya kaos longgar yang kupakai, kemudian tangannya bergerak ke belakang bersama dengan bibirnya yang mengecupi setiap inci bahuku.

“Nngghh... hhhh...” desahku pelan. Bibirnya merambat ke tengkukku dan berhenti di satu titik, membuat cupang disana. Kuhirup aroma tubuhnya yang lembut. Kukecup lehernya pelan. ia mendesah semakin keras. Lalu kugigit dengan lembut.

“Aaaaarrrrggh...” erangnya tertahan. Tangannya bergerak membuka kait braku kemudian membuang benda itu entah kemana. Dan dengan cepat ia melepaskan kaosnya sendiri kemudian mendorongku untuk kembali tidur.

ia mencium keningku lembut. Mataku, pipiku, hidungku kemudian bibirku. Ciuman pertamaku... ditekannya lembut bibirku. Aku merasa jantungku sudah berhenti saat merasakan lidahnya menjilati bibirku, membasahinya. Ia melumat lembut sambil menekannya semakin dalam, membuatku tergoda untuk membalasnya.

“Mmmhh...” desahan-desahan kami terdengar kontras bersama decakan-decakan bibir kami yang memenuhi ruang kamarku itu.

Aku merasakan lidahnya mencari celah untuk masuk ke dalam mulutku. Kubuka mulutku, membiarkan lidahnya masuk untuk bertemu lidahku. Saling membelit dan bertukar air liur. Bibirnya terasa sangat manis dan lembut, membuatku ingin terus mengulumnya. Kuhisap lidahnya di mulutku dan ia menjerit tertahan. Sesekali ia memberi jeda untuk kami mengambil nafas selama dua detik.

Tanganku terangkat mengusap punggung telanjangnya yang basah oleh keringat. “Nnggh... Fer...” aku merasakan jari telunjuknya menari-nari diatas kedua buah dadaku. Seperti ular yang menyusuri permukaannya dengan tarian gemulainya. Kemudian diremasnya payudara sebelah kiriku lembut.

“Aaaahhh...” aku menggeliat dalam himpitan tubuhnya. Bibir Ferdi turun ke bawah mencium daguku... leherku... ia mengecupi belahan dadaku sebelum akhirnya ia menjilati puting dada kananku. Dikulumnya puting payudaraku dan dimainkannya dengan lidah di dalam mulutnya, sementara ia masih meremas payudara kananku dan memilin-milin putingnya. Memutarnya sambil menekan-nekannya lembut.

“Sssshhh...” perutku terasa diaduk-aduk semakin cepat. Bagian bawah pada tubuhku berkedut-kedut dengan cepat. Kakiku tidak bisa diam dan terus bergerak menggesek kakinya.

Ferdi menyedot putingku kuat-kuat kemudian menggigitnya dan mengunyahnya renggang-renggang, membuat buah dadaku itu mengeras. Kemudian ia berpindah ke sebelah kanan dan melakukan hal yang sama. Aku meremas rambutnya yang halus. Dalam imaginasiku-pun dia tidak seperti ini.
Tiba-tiba ia melepaskan hisapannya kemudian bangun dan melepaskan hotpansku beserta celananya sendiri. Aku memejamkan mataku tidak ingin melihat tubuh kami yang telanjang. Entahlah aku merasa sangat malu saat melihat ia menatap tubuh polosku.

Ia menindih tubuhku lagi, “Berbaliklah...” bisiknya pelan di telingaku.

Secara reflek otakku mengikuti bisikannya dan berbalik hingga kini aku tengkurap. Ia menyibak rambutku dan mengecupi tengkukku. “Nngghh... Fer... aah...” tanganku meremas seprei. Bibirnya masih membuat cupang saat tangannya menyusup ke depan dan memilin putingku lagi. “Aaasshh...” aku mendesis tertahan.

“Mmmmhh... hhh...” desah Ferdi terdengar jelas di telingaku, nafasnya yang berat seolah memancing nafsuku. Ia menggigiti daun telingaku dan mengecupi bahuku, punggungku.

Aku bisa merasakan miliknya yang ujungnya berlendir menari-nari di atas pantat bawahku. Menggeseknya pelan seirama gerakan tubuhnya. Puas ia mengecupi seluruh punggungku, tangannya menarikku untuk berbalik menghadapnya lagi. Ia melumat bibirku lagi. Mengemut atas dan bawah bergantian. “Nnghh...” aku mendesah merasakan penisnya yang kali ini menggesek-gesek pahaku. Kurenggangkan kakiku sedikit kemudian menjepit penisnya dengan kedua pahaku.

“Aaaaaarrrghhh...” ia melepaskan ciumannya dan mengerang hebat. Ferdi beranjak dari tubuhku kemudian menarikku untuk bangun. Ia bersandar di headboard ranjang dan meletakkan tanganku di penisnya, “Puaskan aku, Cik... hhh...”

Aku hanya diam. Tanganku gemetar, ini pertama kalinya aku melakukannya. Rupanya Ferdi tidak sabar. Ia menggenggam tanganku dan menuntunku untuk mengocok miliknya. Kuremas perlahan penisnya, “Aaaahhh... terus seperti itu...” desahnya sambil memejamkan mata.

Aku mengikuti gerakannya, kemudian ia melepaskan tangannya membiarkanku melakukannya sendiri. Penisnya terasa sangat keras, urat-urat syarafnya yang menegang terlihat jelas. Ada cairan bening yang keluar dari ujung penisnya yang berkerut karena terangsang. “Aaaahh... terus, sayang... aaah...” racaunya. “Yaah... seperti itu... hhhh...”

Tiba-tiba tangannya memegang kepalaku dan mendorongnya pada penisnya, memaksaku untuk menciumnya. Kuikuti sekenario yang diinginkannya. Kukecup ujung penisnya yang basah. Ia mendesah semakin keras.

Kujilati ujungnya, kemudian turun ke bawah. Kugelitiki kantung zakar-nya dengan lidahku kemudian kukulum dan kusedot kuat-kuat. “Aaaarrghh... Ciki sayang... ooohhh...” dapat kurasakan tubuhnya yang menegang. Tangannya meremas kuat rambutku.

Kukecupi permukaan penisnya dengan lembut kemudian kumasukkan ke dalam mulutku, kukulum naik turun dengan irama teratur. Kugelitiki lubang penisnya dengan lidah di dalam mulutku seperti yang dilakukannya pada putingku tadi. Kubelah lubang yang berkerut itu dan kumasukkan ujung lidahku.

“Cik... oooh... itu sangat nikmat... hhh...” rintihnya. Kuemut terus penisnya naik turun, kuhisap kuat-kuat. Kemudian aku merasa miliknya berdenyut kuat dan, “Aaaaaaarrrrgghhhhhh…” Ferdi melenguh bersama dengan cairan yang menyemprot keluar dari penisnya. Cairan putih kental yang langsung menerobos ke tenggorokanku, membuatku hampir tersedak.

Ia menarik tubuhku ke atas dan melumat bibirku, membersihkan cairannya yang tersisa di bibirku. Kali ini ciumannya begitu lembut, tidak menuntut. Kemudian ia berguling ke samping hingga aku yang berada dibawah kini. Ia melepaskan ciumannya dan meraih daguku, mengecupnya, kemudian terus turun ke bawah, ke arah leherku. Lalu ia mengecupi belahan dadaku sementara kedua tangannya memilin kedua putingku.

“Aaaahh... oooh... sssh...” aku meggeliat pelan. Ciumannya terus turun ke bawah. Ke perutku. Ia berhenti sejenak sambil membenamkan wajahnya di perutku. Nafas hangatnya terasa sangat nyaman. Kuusap lembut kepalanya, kemudian ia duduk sambil merenggangkan kakiku. Membuka pahaku. Teramat pelan, ia mengecup pahaku bagian bawah.

“Aaaahh... sshh...“ tubuhku menggelinjang merasakan bibirnya yang seperti keong, merayap menelusuri pahaku dan semakin jelas kemana bibirnya akan mengarah.

“Oooohh... Fer... aaah...” Kini bibirnya sampai di selangkanganku dan ia mulai menjilat dengan lidahnya. Jantungku bergemuruh, berdetak seakan-akan ingin meledak. Vaginaku berdenyut-denyut cepat merasakan sensasi jilatannya.

“Oooohh...” Ia menjilat daging vaginaku yang sudah membengkak. Kemudian membelah lipitannya dan menggelitik klitorisku. Dikecupinya kemudian disedotnya kuat-kuat.

“Aaaaakkh...” aku menggelinjang sambil mengalungkan kakiku pada lehernya. Menekan kepalanya semakin dalam ke miss V-ku.

“Mmmmhh...” lidahnya turun ke bawah, menyapu lubang vaginaku yang basah dan becek. “Aaaah... Ferdii... uuughh...” aku meremas rambutnya sambil menjepit kepalanya dengan pahaku. Lidahnya masih menari-nari di sekitar lubang vaginaku, kemudian teramat pelan lidah itu menyeruak, masuk ke dalam lubang vaginaku.

“Aaaakkh...” aku menjerit tertahan. Ia menyedot kuat lubang vaginaku dan menggelitiki bagian dalamnya dengan lidahnya yang menari dengan lincah.

“Aaah... aah... Fer... aah...” kurasakan sesuatu ingin meledak dari dalam tubuhku. “Aaaaaarrgh...” aku melenguh dan mengeluarkan cairan dari vaginaku. Miss V-ku berdenyut lambat dengan kuat. Apa ini? Kenapa rasanya sungguh teramat nikmat?

Ferdi masih menjilati miss V-ku, merasakan rasa dari cairanku yang keluar barusan saja. Lalu ia mengusap cairan itu dengan jarinya dan mengoleskannya di bibirku, memasukkan jarinya ke dalam mulutku. Kukulum jari tangannya seperti aku mengulum juniornya. Ia mendesah pelan kemudian menarik lagi jari tangannya dari mulutku, menggantinya dengan bibirnya. Kami berciuman lagi sambil bermain lidah. Kakiku masih memeluk lehernya dan dibawah sana, kurasakan ujung penisnya sedang menggesek-gesek permukaan miss V-ku.

“Aaah... mmhh...” decekan-decakan bibir kami terdengar begitu menggairahkan. Dan sekarang, bagiku, suara yang paling indah di dunia adalah suara desahannya.

“Aaaaakkh... hhmff...” aku menjerit tertahan saat merasakan penisnya menerobos masuk ke dalam lubang vaginaku. Ferdi lekas membungkam mulutku dengan ciumannya. Rasanya perih, seperti luka saat kau setelah jatuh.

“Hhhh... ngghhh...” aku meringis menahannya sambil menggigit bibir Ferdi.

“Aaaah...” Ferdi mendesah sambil berusaha memasukkan penisnya di bawah sana.

Air mataku mengalir tanpa kusadari. Rasanya penar-benar perih. Tanganku sampai menjambak keras rambutnya. Ferdi terus mendorong miliknya hingga masuk sepenuhnya ke dalam vaginaku. Rasanya penuh sesak dan perih. Ia melepaskan ciumannya dan menjilat bekas air mataku.

“Maafkan aku...” bisiknya di telingaku. Ia diam sebentar sambil merapikan rambutku yang berantakan di dahi. Kemudian perlahan, digerakkannya pinggulnya naik turun dengan teramat pelan.

“Uuuggh... aaah... Ferdii...” desahku sambil menggigit kulit lehernya. Sensasi yang ditimbulkannya benar-benar tidak bisa dinalar.

“Hmmhh... hhh... aah...” penisnya menggesek dengan tempo lambat. Rasa perih itu tertutupi dengan rasa baru yang ditimbulkannya, yang anehnya ternyata nikmat.

“Aaaahh... Fer... mmhh... teruskan...” racauku. Aku seperti hilang akal. Pikiranku menguap entah kemana. Yang kurasakan saat ini, kami telah menjadi satu, dan aku sudah menjadi istri yang sesungguhnya. Namun ini adalah sekenario yang dibuatnya. Entah aku harus merasa bahagia atau tidak, yang jelas, kugunakan waktu ini untuk menikmati saat-saat indah bersamanya.

“Oooouughh... aaah... Citra... oooh...”

Aku sangat suka mendengar desah suaranya. Kuusap peluh yang ada di dahinya dengan lembut. Ia mempercepat tempo gerakannya, membuatku menggelinjang. “Fer... aaah... aah... ngghh...”

Penisnya menggesek dinding vaginaku dan menghentak kuat di mulut rahimku, menyentuh G-spot ku. “Aaaah... ssshh... mmmh...” aku merintih.

“Hhhh... oooh... aaahh...” Ferdi ikut mendesis.

“L-lebih cepat, Fer... oooh... uuugh...”

Dihisapinya kulit leherku sementara ia semakin mempercepat gerakannya. “Aaaah... uummhh...” pinggulku bergoyang mengikuti gerakannya. Bunyi benturan alat kemaluan kami terdengar sangat menggairahkan.

“Aaaahhh... sayang... ooh...”

“Lebih dalam, Fer... ssssh... aaah... aaah...”

“Aaaakhh... Citra... ooh... ssshh...”

Ia memperdalam tusukannya dan mempercepat gerakannya. Ada yang ingin meledak sama seperti saat pertama tadi. Tapi ini lebih kuat. Ruangan terasa panas, padahal jendela kamar tidak pernah kututup. Tubuh kami sudah basah dan lengket oleh keringat juga cairan-cairan dan air liur dari kecupan-kecupan.

Tubuh Ferdi mengejang. Ia semakin kuat menghentak ke dalam vaginaku. Ujung penisnya membentur keras dinding rahimku. Vaginaku terasa semakin sesak karena batangnya yang semakin membengkak.

“Aaaah... uuumhh... aahh... sshhh...”

“Fer, ooh... aah... ahh... aah...”

“Aaaahh... aah... aaaaaaaaarrrgghh…” tepat dimana titik itu melebihi batas maksimum, seperti terjadi ledakan pada kami bersamaan dengan suara lenguhan kami.

Tubuh kami berdua mengejang. Vaginaku berdenyut begitu kuat saat melepaskan cairan orgasmeku. Begitu juga dengan Ferdi. Spermanya mengalir deras di dalam rahimku. Rasanya geli dan hangat sekali. Ia menyandarkan kepalanya di dada kiriku. Nafas kami naik turun. Kami diam sejenak untuk menikmati sisa-sisa orgasme yang masih melanda. Vaginaku masih terasa berdenyut-denyut pelan, memijit batang penisnya.

Tuhan... seindah inikah skenario yang dibuatnya untukku? Sampai kapan keindahan ini akan bertahan?

Ferdi menarik lepas penisnya kemudian tidur telentang di sebelahku. Aku menarik selimut dengan kakiku untuk menutupi tubuh kami. Kemudian memiringkan tubuh membelakanginya. Dengan nafas yang belum stabil dan denyutan di vagina yang belum berhenti, aku memejamkan mata.

Tiba-tiba kurasakan tangannya melingkari perutku, memelukku dari belakang dengan erat hingga punggungku menempel pada dadanya. “Terima kasih,” bisiknya lembut kemudian mengecup puncak kepalaku.

Aku mengerjapkan mataku pelan. Tubuhku terasa letih, juga perih di bagian vaginaku. Seketika aku tersentak bangun saat mengingat apa yang sudah terjadi. Tangan Ferdi yang memeluk perutku seketika jatuh, membuatnya bergerak pelan dalam tidurnya. Aku menarik selimut untuk menutupi bagian depan tubuhku yang masih terbuka.

“Sayang...” gumam Ferdi sambil meraba-raba tempat di sebelahnya. Ia membuka sedikit salah satu matanya. “Ada apa?” tanyanya dengan suara serak sambil mencoba meraih tubuhku, tapi ia belum sepenuhnya sadar hingga hanya menggapai-gapai selimut di dekat pinggangku.

“Skenariomu sudah selesai, Fer, sekarang pergilah,” ucapku dengan suara bergetar tanpa menoleh ke arahnya.

Hening... aku merasakan Ferdi bergerak dan tiba-tiba saja tangannya sudah melingkar di perutku. Ia menyandarkan dagunya di bahuku yang terbuka. Mengecup leherku lembut. “Belum selesai...” bisiknya pelan.

“Apa maksudmu?” aku bertanya.

“Aku ingin terus membuat skenario ini selamanya bersamamu... skenario hidup kita...”

“Denganku?” tanyaku ragu, apa dia tidak salah bicara?

“Iya, denganmu,” tegasnya. “Aku ingin membuatnya denganmu, hanya denganmu, Citra... apa kau bersedia melakukannya bersamaku? Memulai semuanya dari awal? Membuat skenario hidup kita berdua, saling melengkapi bagian-bagian yang kurang bersama-sama,”

“Apa ini kontrak kerja untukku?” tanyaku masih curiga.

“Ya... kontrak seumur hidup.” bisiknya pelan sambil menghembuskan nafasnya yang hangat ke batang leherku. “dan syarat-syaratnya, kau harus menjadi milikku, harus mencintaiku, harus menyayangiku, harus menerimaku sebagai suami seutuhnya dan tidak boleh menatap laki-laki lain. Juga sebaliknya, aku harus mencintaimu, menjagamu, bersumpah tidak akan pernah menyakitimu, dan tidak akan ada gadis lain selain dirimu,”

“Bukankah itu kedengarannya seperti terpaksa?!”

“Memang, tapi aku senang melakukannya, Cik. Aku mencintaimu...”

“Jadi... kau sudah mulai mencintaiku?”

“Bukan, aku sudah mencintaimu dari dulu... sejak kau pertama masuk ke rumahku, kau juga telah masuk ke dalam hidupku... ke hatiku.”

Aku menoleh ke belakang dengan terperangah. Ia tersenyum lembut. “Bagaimana bisa?” tanyaku tak percaya.

“Saat itu, aku masih mempelajari skenario yang kau buat,” jawabnya.

Aku memeluknya erat, “Ferdi sayang... ayo kita rancang skenario hidup kita bersama-sama...”

Dia membelai kepalaku lembut, “As your wish, honey. I love you…“

“Aku juga, Fer… I love you too.” bisikku pelan.

Dia mengecup kulit leherku pelan. Reflek aku mendesah, dan ia semakin liar mengecupi leher dan bahuku. “Ayo kita mandi,” bisiknya sambil mengangkat tubuhku, membawaku ke kamar mandi.

***

Ferdi baru saja pulang dari kampus dan melihat keadaan apartemen yang sedang kosong. Perutnya terasa lapar. Diketuknya pintu kamar Citra. Tidak ada jawaban. Perlahan dibukanya, tidak terkunci. Ia masuk dan melihat kamar itu kosong. Sebuah laptop yang menyala menarik minatnya.

Dihampirinya benda itu kemudian dilihat isinya. Ia terdiam saat melihat blog pribadi Citra Kirana. Tangannya bergerak-gerak di atas keyboard dan ia menemukan sebuah file yang berisi tulisan-tulisan tangan sang istri. Ia terdiam sejenak kemudian mengambil sebuah flashdisk dari dalam ranselnya dan mengopy semua isi folder itu. Kemudian ia keluar dari kamar Citra dan menunggu gadis itu pulang.

Setiap malam dibacanya tulisan-tulisan tangan Citra itu dengan diam. Hingga pada akhirnya, ia memutuskan untuk memulainya lebih dulu. Karena ia yakin, Citra Kirana juga mencintainya.

Ferdi pertama kali mengenal gadis itu saat ibunya membawa Citra untuk tinggal bersamanya. Ia memang gadis yang tertutup dan sedikit dingin pada Ferdi. Tapi justru malah itu yang membuat Ferdi tertarik kepadanya. Gadis itu berbeda... Ferdi ingin melihat bagaimana ekspresi Citra karena selama ini hanya wajah datar gadis itu yang dilihatnya.

Banyak hal yang dilakukannya. Mulai dari menggandeng banyak gadis, bergonta-ganti pacar, hanya sekedar untuk melihat bagaimana reaksi Citra. Namun nihil. Hingga pada akhirnya ia meminta bantuan sang kakek. Dan sang kakek sangat mendukungnya. Tidak hanya membuat Citra menjadi pacarnya, kakek malah langsung meminta Citra untuk menikah dengan Ferdi.

Melihat ekspresi Citra, Ferdi berpura-pura sangat terpaksa dengan pernikahan itu. karena ia tidak ingin Citra membencinya. Jika Citra tahu Ferdi yang memintanya, ia tidak akan pernah mau. Setengah tahun mereka menjadi pasangan suami istri namun gadis itu tetap menjaga jarak darinya. Hingga akhirnya Ferdi menemukan apa yang sebenarnya ada dalam fantasi Citra. Dan hal itu yang membuatnya berani melakukan interaksi lebih dulu. Citra Kirana kini benar-benar menjadi miliknya...


- End -
Previous Post
Next Post